Wahai
saudaraku yang tulus ... !
Yang
saya maksud dengan fahm (pemaharnan) adalah bahwa engkau yakin bahwa fikrah
kita adalah 'fikrah islamiyah yang bersih'. Hendaknya engkau memahami Islam,
sebagaimana kami memahaminya dalam batas-batas ushul al-'isyrin (dua
puluh prinsip) yang sangat ringkas ini:
1.
Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia
adalah negara dan tanah air, pemerintah dari umat, akhlak dan kekuatan, kasih
sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi
dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan jihad dan dakwah, pasukan dan
pemikiran, sebagaimana juga ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar,
tidak kurang dan tidak lebih.
2.
Al-Qur'an yang mulia dan Sunah Rasul yang suci adalah tempat kembali setiap
muslim untuk memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-Qur'an sesuai
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri) dan ta'assuf
(serampangan). Selanjutnya ia memahami Sunah yang suci melalui rijalul
hadits (perawi hadits) yang terpercaya.
3.
Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah)
adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di hati hamba-Nya yang Dia
kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam),
dan mimpi, ia bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa juga
dianggap dalil dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan
teksteksnya.
4.
Jimat, mantera, guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara ghaib, dan
semisalnya, adalah kemunkaran yang harus diperangi, kecuali mantera dari ayat
Qur'an atau ada riwayat dari Rasulullah saw.
5.
Pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks hukumnya,
tentang sesuatu yang mengandung ragam interpretasi, dan tentang sesuatu yang
membawa kemaslahatan umum, bisa diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah umum syariat. Ia mungkin berubah seiring dengan perubahan
situasi, kondisi, dan tradisi setempat. Yang prinsip, ibadah itu diamalkan
dengan kepasrahan total tanpa mempertimbangkan makna. Sedangkan dalam urusan
selain ibadah (adat-istiadat), maka harus mempertimbangkan maksud dan
tujuannya.
6.
Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali Al-Ma'shum
(Rasulullah) saw. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan
Kitab dan Sunah, kita terima. Jika tidak sesuai dengannya, maka Kitabullah dan
Sunnah RasulNya lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh
melontarkan kepada orang-orang -oleh sebab sesuatu yang diperselisihkan
dengannya- kata-kata caci maki dan celaan. Kita serahkan saja kepada niat
mereka, dan mereka telah berlalu dengan amal-amalnya.
7.
Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan telaah terhadap dalil-dalil hukum
furu' (cabang), hendaklah mengikuti pemimpin agama. Meskipun demikian, alangkah
baiknya jika -bersamaan dengan sikap mengikutnya ini- ia berusaha semampu yang
ia lakukan untuk mempelajari dalil-dalilnya. Hendaknya ia menerima setiap
masukan yang disertai dengan dalil selama ia percaya dengan kapasitas orang
yang memberi masukan itu. Dan hendaknya ia menyempurnakan kekurangannya dalam
hal ilmu pengetahuan Jika ia termasuk orang pandai, hingga mencapai derajat
pentelaah.
8.
Khilaf dalam masalah fiqih furu' (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor
pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga
kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada
larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam
naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah untuk menuju kepada
kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik.
9.
Setiap masalah yang amal tidak dibangun di atasnya -sehingga menimbulkan
perbincangan yang tidak perlu- adalah kegiatan yang dilarang secara syar'i.
Misalnya memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benar-benar
terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Qur'an yang kandungan
maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan perihal
perbandingan keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat
(padahal masingmasing dari mereka memiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi
dan pahala niatnya) Dengan ta'wil (menafsiri baik perilaku para sahabat) kita
terlepas dari persoalan.
10.
Ma'rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian (dzat)-Nya adalah
setinggi-tinggi tingkatan aqidah Islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan
hadits-hadits shahih tentangnya, serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan
dengannya, kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya tanpa ta'wil dan ta'thil,
serta tidak memperuncing perbedaan yang terjadi di antara para ulama. Kita
mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah saw. dan
para sahabatnya mencukupkan diri dengannya.
"Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."' (Ali lmran: 7)
11.
Setiap bid'ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi dianggap baik
oleh hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah
kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan dengan menggunakan cara yang
sebaik-baiknya, yang tidak justru menimbulkan bid'ah lain yang lebih parah.
12.
Perbedaan pendapat dalam masalah bid'ah idhafiyah),
bid'ah tarkiyah), dan iltizam)
terhadap
ibadah mutlaqah (yang tidak diterapkan, baik cara maupun waktunya)
adalah perbedaan dalam. masalah fiqih. Setiap orang mempunyai pendapat sendiri.
Namun tidaklah mengapa jika. dilakukan penelitian untuk mendapatkan hakekatnya
dengan dalil dan bukti-bukti.
13.
Cinta kepada orang-orang yang shalih, memberikan penghormatan kepadanya, dan
memuji karena perilaku baiknya adalah bagian dari taqarrub kepada Allah swt.
Sedangkan para wali adalah mereka yang disebut dalam firman-Nya, "Yaitu
orang-orang yang beriman dan mereka itu bertaqwa." Karamah pada mereka itu
benar terjadi jika memenuhi syarat-syarat syar'inya. Itu semua dengan suatu
keyakinan bahwa mereka -semoga Allah meridhai merekatidak memiliki madharat dan
manfaat bagi dirinya, baik ketika masih hidup maupun setelah mati, apalagi bagi
orang lain.
14.
Ziarah kubur-kubur siapa pun- adalah sunah yang disyariatkan dengan cara-cara
yang diajarkan Rasulullah saw. Akan tetapi, meminta pertolongan kepada penghuni
kubur siapa pun mereka, berdoa kepadanya, memohon pemenuhan hajat (baik dari
jarak dekat maupun dari kejauhan), bernadzar untuknya, membangun kuburnya,
menutupinya dengan satir, memberikan penerangan, mengusapnya (untuk mendapatkan
barakah), bersumpah dengan selain Allah dan segala sesuatu yang serupa
dengannya adalah bid'ah besar yang wajib diperangi. juga janganlah mencari
ta'wil (baca: pembenaran) terhadap berbagai perilaku itu, demi menutup pintu
fitnah yang lebih parah lagi.
15.
Doa, apabila diiringi tawasul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya adalah
perselisihan furu'menyangkut tata cara berdoa, bukan termasuk masalah aqidah.
16.
Istilah ' (keliru) yang sudah mentradisi) tidak
mengubah hakekat hukum syar'inya. Akan tetapi, ia harus disesuaikan dengan
maksud dan tujuan syariat itu, dan kita berpedoman dengannya. Di samping itu,
kita harus berhati-hati terhadap berbagai istilah yang menipu),
yang sering digunakan dalam pembahasan masalah dunia dan agama. lbrah itu ada
pada esensi di balik suatu nama, bukan pada nama itu sendiri
.
17.
Aqidah adalah pondasi aktivitas; aktivitas hati lebih penting daripada
aktivitas fisik Namun, usaha untuk menyempurnakan keduanya merupakan tuntutan
syariat, meskipun kadar tuntutan masing-masingnya berbeda.
18.
Islam itu membebaskan akal pikiran, menghimbaunya untuk melakukan telaah
terhadap alam, mengangkat derajat ilmu dan ulamanya sekaligus, dan menyambut
hadirnya segala sesuatu yang melahirkan maslahat dan manfaat. "Hikmah
adalah barang yang hilang milik orang yang beriman (mukmin). Barangsiapa
mendapatkannya, ia adalah orang yang paling berhak atasnya. "
19.
Pandangan syar'i dan pandangan logika memiliki wilayahnya masing-masing yang
tidak dapat saling memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak
pernah berbeda (selalu beririsan) dalam masalah yang qath'i (absolut) Hakikat
ilmiah yang benar tidak mungkin bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat yang tsabitah
(jelas). Sesuatu yang zhanni (interpretable) harus ditafsirkan agar
sesuai dengan yang qath'i. Jika yang berhadapan adalah dua hal yang sama-sama
zhanni, maka pandangan yang syar'i lebih utama untuk diikuti sampai logika
mendapatkan legalitas kebenarannya, atau gugur sama sekali.
20.
Kita tidak mengkafirkan seorang muslim, yang telah mengikrarkan dua kalimat
syahadat, mengamalkan kandungannya, dan menunaikan kewajiban-kewajibannya, baik
karena lontaran pendapat maupun karena kemaksiatannya, kecuali jika ia
mengatakan kata-kata kufur, mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai
bagian penting dari agama, mendustakan secara terang-terangan Al-Qur'an,
menafsirkannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab,
atau berbuat sesuatu yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali dengan
tindakan kufur Apabila seorang muslim memahami ajaran agamanya dengan batasan
kaidah-kaidah di atas, berarti ia telah mengetahui makna syiarnya: 'Al-Qur'an
adalah dustur kami dan Rasul adalah qudwah kami."
Risalah Pergerakan, Hasan Al-Banna (Pendiri Ikhwanul Muslimin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar